I Made Adi Seraya, S.H., M.H., C.L.A. dan Rekan | Phone: 082144702720

Hukum Adat Bali

Hukum Adat Bali

Ilustrasi

 

I BIDANG HUKUM TANAH

  1. Kedudukan hukum adat tanah setelah berlakunya Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 adalah hukum adat berlaku bagi tanah-tanah yang dikenal dengan hak-hak Indonesia, seperti tanah milik, tanah usaha, tanah golongan, tanah bengkok dan lain-lain, dualisme mengenai hukum tanah tersebut dihapuskan yang selanjutnya berlaku hukum tanah nasional yang berlandaskan hukum adat.

Selanjutnya hukum adat dijadikan landasan hukum nasional yang disebutkan dalam pasal 5 UUPK yang menyatakan bahwa; “hukum agraria yang berlaku….ialah hukum adat, sepanjang tidak bertentangan dengan kepentingan nasional dan Negara yang berdasarkan atas persatuan bangsa”.

  1. Landasan dalam peraturan perundang-undangan yang mengatur masalah milik desa pekraman, mulai dari tingkat peraturan dasar (UUD) undang-undang, dan peraturan daerah yaitu; UUD 1945 Pasal 18B ayat 2 yang menyatakan bahwa Negara mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak-hak nasionalnya sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat serta prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia, yang diatur dengan Undang-undang. UUPA pasal 5 yang menyatakan bahwa; “Dengan mengingat ketentuan-ketentuan dalam Pasal 1 dan 2 pelaksanaan hak ulayat dan hak-hak yang serupa itu dari masyarakat-msyarakat hukum adat, sepanjang menurut kenyataannya masih ada, harus sedemikian rupa sehingga sesuai dengan kepentingan nasional dan Negara, yang berdasarkan persatuan bangsa serta tidak boleh bertentangan dengan undang-undang dan peraturan-peraturan lain”. Pada level peraturan daerah, pengakuan terhadap eksistensi tanah desa pekraman ditegaskan dalam Pasal 9 Peraturan Daerah Nomor 3 Tahun 2001 tentang Desa Pekaraman.
  1. Macam-macam hak atas tanah yang ada di provinsi Bali yaitu;
  1. hak-hak perseorangan atas tanah; jenis-jenis hak perseorangan atas tanah adalah seperti yang disebutkan dalam Pasal 16 ayat (1) UUPA, yaitu hak milik, hak guna usaha, hak guna bangunan, hak pakai, hak sewa, dan lain-lain.
  2. hak ulayat adalah hak yang dimiliki oleh masyarakat hukum untuk mengelola, mengolah, menguasai tanah-tanah yang ada pada wilayahnya.
  1. Tanah-tanah milik desa pekraman;
  1. Tanah drue desa atau tanah desa dalam arti sempit, yaitu tanah-tnah yang dimiliki atau yang dikuasai langsung oleh desa pekraman; yang dapat berupa tanah setra, tanah pasar, tanah lapang,tanah bukti,dll seperti tanah-tanah untuk bangunan fasilitas desa (balai desa, wantilan, balai banjar, dsb).
  2. Tanah Pekaragan Desa (PKD) yaitu tanah desa milik desa pekrama yang diberikan kepada karma desa unukdipakai sebagai tempat pemukiman, umumnya dengan luas ukuran tertentu untuk tiap karma desa, seperti sikut satak, sikut samas, sikut domas
  3. Tanah Ayahan Desa (AyDs) yaitu tanah-tanah pertanian milik seda yang diserahkan kepada karma desa dengan hak untuk menikmati hasilnya, yang melekat juga dengan kewajiban (ayahan) kepada desa.
  1. Kualifikasi tanah pura dipisahkan dari tanah desa dengan beberapa alasan. Pertama, tidak semua pura adalah milik desa pakraman. Kedua, status tanah pura sekarang adalah hak milik menurut UUPA, karena sejak 24 September 1986 berdasarkan SK Mendagri Nomor SK.556/DJA/1986 pura sudah diakui sebagai badan hukum keagamaan yang dapat menjadi subjek hak milik atas tanah, sehingga dapat mempunyai tanah dengan sertifikat hak milik.
  1. Desa pakraman adalah organisasi yang mempunyai fungsi sosial religius, maka fungsi tanah desa pekraman juga demikian. Fungsi riligius atau keagamaan dari desa pakraman diwujudkan dengan berbagai kegiatan upacara, baik yang dilakukan oleh krama desa sebagai kesatuan maupun secara individual sesuai dengan keperluan. Rangkaian upacara keagamaan yang diselenggarakan oleh krama desa secara kolektif misalnya adalah upacara yadnya di pura desa, yang dilakukan secara rutin setiap piodalan maupun secara incidental.Disamping fungsi sosial religius diatas, tanah desa juga mempunyai fungsi ekonomis. Tanah-tanah desa yang berupa tanah pertanian sejak dulu dimanfaatkan untuk menunjang kebutuhan ekonomi karma desa pemegangnya ataupun untuk kebutuhan ekonomi desa pakraman dalam melaksanakan aktifitasnya.
  1. Karakter umum tanah milik masyarakat adat (hak masyarakat adat atas tanah) adalah sebagai berikut:
    • Masyarakat dan anggota-anggotanya dapat menggunakan tanah sebagai dasar bagi kehidupannya;
    • Orang bukan warga masyarakat hukum adat tidak dapat menggunakan hak itu, kecuali mendapat ijin masyarakat hukum adat yang bersangkutan;
    • Orang lain yang menggunakan hak itu harus membayar sesuatu kepada masyarakat hukum adat.
    • Masyarakat hukum adat bertanggungjawab terhadap segala perbuatan hukum yang terjadi di atas tanah tersebut;
    • Masyarakat hukum adat tidak boleh mengasingkan atau memindahtangankan tanah kepada siapapun untuk selama-lamanya;
    • Masyarakat hukum adat dapat mencampuri terhadap penggunaan tanah-tanah yang telah digarap oleh anggotanya, agar dimanfaatkan secara wajar untuk memenuhi kebutuhan hidupnya.

Disamping karakter umum tersebut, tanah desa pekraman mempunyai cirri khas, yaitu keterkaitannya dengan eksistansi khayangan desa disamping bersifat kumunal juga bersifat religius.

II BIDANG HUKUM PERHUTANGAN

  1. Hukum perhutangan adalah keseluruhan peraturan-peraturan hukum yang mengaur hak-hak mengenai barang-barang, selain tanah dan perpindahan daripada hak-hak itu dari hukum mengenai jasa-jasa.

Ruang lingkup hukum perhutangan meliputi hak-hak kebendaan selain tanah, seperti;

  • hak-hak ata bangunan tanah, hak atas tanam tumbuhan, hak-hak atas ternak, hak-hak atas barang;
  • perbuatan kredit, tolong-menolong;
  • perkumpulan kerjasama;
  • alat-alat pengikat suatu perjnjian;
  • dan lain-lain.
  1. Asas horizontale scheiding adalah asas pemilikan yang terpisah dalam hukum adat antara tanah dan benda-benda yang ada diatasnya, termasuk rumah dan tanaman.
  2. Dalam masyarakat adat di Bali, perjanjian-perjanjian kridit perseorangan meliputi pemberian uang, barang, atau ternak dan juga tenaga kerja.Disamping pemberian pinjaman berupa uang, pemberian pinjaman berupa barang atau ternak, yang nantinya wajib dikembalikan dengan benda atau ternak yang nilainya sama, benda-benda yang dijadikan objek pinjaman umumnya berupa barang primer bidang pangan, seperti beras, kopi, gula, dll.
  3. Perbuatan tolong-menolong adalah merupakan perbuatan kridit perseorangan dalam arti luas, sebab debgan perbuatan menolong orang lain dengan pemberian tenaga yang diperlukan, diharapkan adanya prestasi berupa balasan pertolongan dari pihak yang ditolong di kemudiam hari.

Contohnya dalam masyarakat Bali seperti pembangunan rumah, menanam padi, kegiatan adat/agama, dsb.

  1. Dalam hukum adat, setiap transaksi mempunyai sifat riil dan visual, yang artinya nahwa setiap kemauan harus ditunjukkan secara nyata, dan tidak cukup hanya dengan kata-kata saja.Dalam perbuatan tunai, seperti jual beli, maka jual beli terjadi secara serentak ketika harga telah dibayar lunas (tunai) kepada penjual dan barang telah diserahkan kepada pembeli.

Dalam masyarakat Bali, perjanjian dengan tanda pemgikat juga banyak ditemukan, dan istilah yang dipergunakan untuk tanda pengikat itu bervariasi, disamping istilah panjer, juga digunakan istilah pencer, kaceng, anceng, ceng dan sebagainya.

III BIDANG HUKUM PELANGGARAN

  1. Pengertian delik adat menurut sarjana hukum adat adalah;
  • Ter Haar menulis bahwa “…di masyarakat-masyarakat hukumkecil rupa-rupanya yamg dianggap suatu pelanggaran (delict) ialah setiap gangguan segi satu (eenzzijdig) terhadap keseimbangan dan setiap penubrukan dari segi satu pada barang-barangkehidupan materiil dan imatereel orang seorang, atau dari pada orang banyak yang merupakan satu kesatuan (segrombolan); tindakan itu menimbulkan suatu reaksi yang sifatnya dan besar kecilnya ditetapkan oleh hukum adat-ialah reaksi adat (adatreactie), karena reaksi mana keseimbangan dapat dan harus dipulihkan kembali (kebanyakan dengan jalan penyebaran pelanggaran berupa barang-barang atau uang)”.
  • Soepomo, dalam system hukum adat segala perbuatan yang bertentangan dengan peraturan hukum adat merupakan perbuatan yang illegal dan hiukum adat mengenal pula ikhtiar-ikhtiar untuk memperbaiki kembali hukum, jika hukum diperkosa.
  • Bushar Muhamad, yang dikutip oleh I Made Widnyana, memberikan definisi tentang delik adat sebagai perbuatan sepihak dari seorang atau kumpulan perseorangan, mengancam atau menyinggung atau mengganggu keseimbangan dan kehidupan persekutuan bersifat material atau immaterial, terhadap orang seorang atau terhadap masyarakat berupa kesatuan. Tindakan atau perbuatan yang demikian akan mengakibatkan suatu reaksi adat.
  1. Sifat-sifat hukum delik adat adalah hukum pelanggaran adat mempunyai sifat-sifat yang spesifik, yaitu menyeluruh dan menyatukan, mempunyai ketentuan yang terbuka, menbeda-bedakan permasalahan, peradilan dengan pemintaan, dan tindakan reaksi atau kreasi (sanksi) yang berbeda dengan hakekat sanksi di dalam hukum pidana barat.
  1. Menyeluruh dan menyatukan; adalah hukuim pelanggaran adat tidak membedakan atara pelanggaran yang bersifat pidana dan perdata, begitu pula tidak dibedakan apakah itu pelanggaran adat, agama, kesusilaan, kesopanan, kesemuanya akan diperiksa dan diadili oleh hakim adat sebagai satu kesatuan perkara.
  2. Ketentuannya terbuka; adalah hukum pelanggaran adat tidak berifat pasti, dan selalu terbuka untuk segala peristiwa atau perbuatan yang mungkin terjadi.
  3. Membeda-bedakan permasalahan; apabila terjadi peristiwa pelanggaran maka yang dilihat bukan semata-mata perbuatan dan akibatnya, tetapi juga dilihat siapa pelakunya.
  4. Peradilan dengan permintaan; para petugas hukum adat baru akan mencampuri penyelesaian suatu perkara apabila ada permintaan dari yang berkepentingan, kecuali dalam hal-hal yang langsung merugikan dan mengganggu keseimbangan masyarakat umum.
  5. Tindakan reaksi atau koreksi; tindakan “reaksi adat” atau “koreksi adat” (sanksi adat) terhadap peristiwa yang mengganggu keseimbangan masyarkat, tidak saja dapat dibebankan pada pelakunya, tetapi juga dapat dikenakan kepada keluarga atau kerabat pelaku atau membebankan kewajuba pada masyarakat seluruhnya.
  1. Berdasarkan hasil penelitian Fakultas Hukum Universitas Udayana (1976) ditemukan bahwa delik adat yang masih berlaku menurut hukum adat Bali dikenal empat jenis yaitu;
  1. Delik adat yang menyangkut kesusilaan;
    1. Lokika sanggaraha
    2. Drati karma
    3. Gamia Gamana
    4. Mamitra ngalang
    5. Delik adat salah krama
  2. Delik adat yang menyangkut harta benda, seperti; pencurian benda suci, merusak benda suci, dll.
  3. Delik adat yang berhubunga dengan kepentinga pribadi, seperti; mengucapkan kata-kata kotor (mamisuh), memfitnah (mapisuna), menipu atau berbohong (mamauk/mogbog) dll.
  4. Pelanggaran adat karena kelalaian atau tidak menjalankan kewajiban (swadharma), terhadap lembaga tradisional (desa pekraman), seperti; kelalaian melaksanakan kewajiban (ayahan desa) sebagai warga desa (karma desa pekraman), kelalaian membayar iuran (papeson atau pawedalan), dll.
  1. Istilah dalam bahasa Bali untuk menyebut sansi adat pada umumnya disebut danda atau pamidanda. Penggolongannya yaitu sanksi adat atau danda di Bali adalah sanksi yang dikenakan oleh desa pekraman atau kelembangaan adat lainnya kepada seorang atau kelompok orang dan atau keluarganya, karena dianggap terbukti telah melakukan pelanggaran terhadap norma adat dan norma agama Hindu, ini dimaksudkan untuk mengembalikan keseimbangan sekala (alam nyata) dan niskala (alam gaib) dalam masyarakat.
  2. Jenis-jenis sanksi adat menurut hukum adat Bali yang masih hidup dan berlaku di dalam masyarakat Bali ada tiga golongan sanksi yang dikenal dengan sebutan tri danda, yang terdiri dari;
  1. artha danda, yaitu tindakan hukum berupa penjatuhan denda (berupa uang atau barang)
  2. jiwa danda, tindakan hukum berupa pengenaan penderitaan jasmani maupun rohani bagi pelaku pelanggaran (hukuman fisik dan psikis).
  3. Sangaskara danda, berupa tindakan hukuman untuk mengembalikan keseimbangan magis (hukuman dalam bentuk melakukan upacara agama)
  1. Tujuan sanksi menurut hukum adat bali adalah untuk megendalikan keseimbangan yang terganggu akibat adanya pelanggaran adat, pandangan hidup yang melandasinya adalah seperti pendapat Soepomo yang mengemukakan bahwa dalam hubungan dengan pengenaan sanksi, yang penting ialah adanya pengutamaan terhadap terciptanya suatu keseimbangan antara dunia lahir (sekala) dan dunia gaib (niskala), antara golongan manusia seluruhnya dan orang seorang, antara persekutuan dan teman masyarakatnya.
  2. Peluang berlakunya hukum adat pelanggaran dewasa ini dan landasan hukumnya dari sudut praktek peradilan, peluang berlakunya hukum adat pada umumnya dan hukum pidana adat pada khususnya sangat jelas dapat dilihat dalam Undang-undang Pokok Kekuasaan Kehakiman, yaitu Undang-undang Nomor 4 Tahun 2004 pasal 16 ayat (1) dan Pasal 28.
  3. Kedudukan delik adat dan saksi adat dalam rancangan KUHP nasional adalah rancangan KUHP nasional memperhatikan delik pelanggaran adat yang masih hidup, beberapa pasal dari Rancangan KUHP yang terkait dengan pelanggaran adat dan sanksi adat (dalam Rancangan KUHP disebut “kewajiban adat”) yaitu;
  • Pasal 1 ayat (1); Tidak seorangpun dapat dipidana dan dikenakan tindakan, kecuali perbuatan yang dilakukan telah ditetapkan sebagai tindak pidana dalam peraturan perundang-undangan yang berlaku pada saat perbuatan itu dilakukan.

Ayat (2); Dalam menetapkan tindak pidana dilarang menggunakan analogi. Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) tidak mengurangi berlakunya hukum yang hidup atau hukum adat yang menentukan bahwa menurut adat setempat seorang patut dipidana walaupun perbuatan tersebut tidak diatur dalam peraturan perundang-undangan.

Ayat (3); Terhadap perbuatan memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) berlaku ketentuan pidana dalam pasal 93.

  • Pasal 93

Ayat (1) Dalam putusan dapat ditetapkan kewajiban adat setempat yang harus dilakukan oleh terpidana.

Ayat (2); Pemenuhan kewajian adat sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) merupakan pidana pokok atau yang diutamakan, jika tindak pidana yang dilakukan memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 ayat (3).

Ayat (3); Kewajiban adat sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dianggap sebanding dengan pidana denda katagori 1 dan dapat dikenakan pidana pengganti untuk pidana denda, jika kewajiban adat itu tidak dipenuhi atau tidak dijalani oleh terpidana.

Ayat (4); Pidana pengganti sebagaimana dimaksud dalam ayat (3) dapat juga berupa pidana ganti kerugian.

 

Komentar

komentar

×

Om Swastiastu

Klik profile di bawah untuk chatting melalui WhatsApp atau kirim email ke adiseraya_lawyer@yahoo.com

× Hubungi melalui WhatsApp.
Send this to a friend