Perkara Pinjam Nama (Nominee) dalam Kepemilikan Tanah/Properti oleh Orang Asing di Indonesia
Perkara Pinjam Nama (Nominee) dalam Kepemilikan Tanah/Properti oleh Orang Asing di Indonesia
Ilustrasi
Nominee (pinjam nama) dalam praktik sehari-hari adalah penggunaan nama seseorang Warga Negara Indonesia sebagai pemegang saham suatu PT di Indonesia atau sebagai salah seorang persero dalam suatu Perseroan Komanditer, atau lebih jauh lagi, penggunaan nama tersebut sebagai salah satu pemilik tanah dengan status hak milik atau Hak Guna Bangunan di Indonesia. Jadi praktik nominee tersebut tidak hanya berkaitan dengan penggunaan nama sebagai pemegang saham dalam PT di Indonesia, melainkan sampai dengan penggunaan nama dalam kepemilikan suatu property di Indonesia yang saat ini sangat marak terjadi terutama di Bali.
Dalam praktik, penggunaan nama warga Negara Indonesia tersebut juga sering dilakukan dengan cara mengatas namakan saham-saham ataupun tanah/property di Indonesia tersebut yang sebenarnya adalah milik Warga Negara Asing, ke atas nama isterinya yang berkewarganegaraan Indonesia atau di atas namakan ke atas nama orang kepercayaannya, dan sebagai “pengaman” bagi WNA tersebut, pihak WNI yang namanya digunakan sebagai orang yang secara hukum “memiliki” saham-saham atau tanah/property tersebut menanda-tangani surat pernyataan pengakuan bahwa saham-saham ataupun tanah/property tersebut bukanlah miliknya, dan namanya hanya “dipinjam”.
Diakui atau tidak, banyak sebenarnya tanah-tanah di Bali yang dimiliki oleh orang asing, walaupun apabila di cek di kantor pertanahan setempat, terdaftar atas nama WNI. Hal ini terjadi karena adanya asas larangan pengasingan tanah (gronds verponding verbood) yang dianut dalam hukum tanah di Indonesia; yang melarang kepemilikan tanah dengan hak selain hak pakai untuk dimiliki oleh Warga Negara Asing. Atas dasar tersebut, akhir-akhir ini banyak mengemuka permasalahan hukum yang timbul akibat Nominee dan Kantor Hukum kami pun juga turut menangani berbagai permasalahan hukum terkait dengan nominee.
Nominee secara Hukum dapat dijelaskan sebagai berikut:
Perjanjian Nominee merupakan perjanjian yang dibuat antara seseorang yang menurut hukum tidak dapat menjadi subyek hak atas tanah tertentu (hak milik), dalam hal ini yakni orang asing dengan WNI, dengan maksud agar orang asing tersebut dapat menguasai (memiliki) tanah hak milik secara de facto, namun secara legal-formal (dejure) tanah hak milik tersebut diatasnamakan WNI. Dengan perkataan lain, WNI dipinjam namanya oleh orang asing untuk bertindak sebagai Nominee;
(Vide Maria SW. Sumardjono, 2006, Kebijakan Pertanahan antara Regulasi dan Implementasi, Kompas, Jakarta, hal. 17)
Perjanjian nominee jelas merupakan suatu bentuk penyelundupan hukum untuk menghindari peraturan yang mengatur bahwa orang asing adalah tidak memenuhi syarat sebagai subyek pemegang hak milik atas tanah di Indonesia sesuai dengan ketentuan dalam Pasal 9 ayat (1) jo. Pasal 21 ayat (1) UUPA dengan jelas menyebutkan bahwa hanya WNI yang dapat mempunyai hubungan sepenuhnya dengan bumi, air dan ruang angkasa, serta dengan jelas mengatur bahwa hanya WNI yang dapat mempunyai hak milik.
Hal ini kemudian dipertegas kembali dalam Pasal 26 ayat (2) UUPA yang menyebutkan bahwa setiap jual beli, penukaran, penghibahan, pemberian dengan wasiat dan perbuatan-perbuatan lain yang dimaksudkan untuk langsung atau tidak langsung memindahkan hak milik kepada orang asing, kepada seorang warga Negara disamping kewarganegaraan Indonesianya mempunyai kewarganegaraan asing adalah batal karena hukum.
Pasal 33 ayat (1) Undang-Undang No. 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal berbunyi, “Penanam modal dalam negeri dan penanam modal asing yang melakukan penanaman modal dalam bentuk perseroan terbatas dilarang membuat perjanjian dan/atau pernyataan yang menegaskan bahwa kepemilikan saham dalam perseroan terbatas untuk dan atas nama orang lain.”
Pasal 33 di atas dengan jelas menyatakan bahwa nominee itu dilarang. Lebih lanjut, dalam ayat (2) Pasal 33 menyebutkan, “Dalam hal penanam modal dalam negeri dan penanam modal asing membuat perjanjian dan/atau pernyataan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), perjanjian dan/atau pernyataan itu dinyatakan batal demi hukum.”
Hal tersebut di atas dikuatkan kembali dalam Pasal 48 Undang-Undang No. 40 Tahun 2007 Tentang Perseroan Terbatas yang berbunyi, ”Saham Perseroan dikeluarkan atas nama pemiliknya.” Dengan kata lain, tidak boleh saham sebuah perseroan dikeluarkan atas nama “wakil” dari si pemilik saham, tetapi atas nama si pemiliknya langsung.
Nominee kerap kali dilapisi dengan berbagai perjanjian untuk “mengamankan” nama WNA dan pihak WNI yang namanya digunakan sebagai orang yang secara hukum “memiliki” saham-saham atau tanah/property tersebut menanda-tangani surat pernyataan pengakuan bahwa saham-saham ataupun tanah/property tersebut bukanlah miliknya, dan namanya hanya “dipinjam”. Dengan demikian perjanjian tersebut tidaklah sah secara hukum sesuai dengan pernyataan pasal 1234 KUHPerdata yang menyatakan “Tiap-tiap perikatan adalah untuk memberikan sesuatu, untuk berbuat sesuatu dan untuk tidak berbuat sesuatu” menjadi “Nota kosong” karena semuanya dibuat berdasarkan kepura-puran semata. MARIA SW. SUMARDJONO dalam bukunya Kebijakan Pertanahan antara Regulasi dan Implementasi, Kompas, 2006, Jakarta, h. 16 mengatakan bahwa “Perjanjian pokok yang diikuti dengan perjanjian lain terkait dengan penguasaan hak atas tanah oleh warga negara asing menunjukkan bahwa secara tidak langsung melalui perjanjian notariil, telah terjadi PENYELUNDUPAN HUKUM”.
Bahwa adanya perjanjian-perjanjian yang dibuat oleh Notaris dengan tujuan untuk mengamankan asset-aset yang menjadi objek Nomonee tersebut pada hakekatnya adalah dilatarbelakangi dengan itikad yang tidak baik sehingga dapat dikatakan Perjanjian yang dibuat oleh Notaris tersebut justru telah mencederai wibawa dari profesi Notaris itu sendiri dan tentu saja sangat bertentangan dengan Pasal 16 ayat (1) huruf a Undang-Undang No. 2 Tahun 2014 tentang Perubahan atas Undang-Undang No. 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris yang menyatakan bahwa “Dalam menjalankan jabatannya, Notaris wajib bertindak amanah, jujur, seksama, mandiri, tidak berpihak, dan menjaga kepentingan pihak yang terkait dalam perbuatan hukum”.
Bahwa Perjanjian yang dibuat-buat (proforma) tersebut tentu merupakan perjanjian palsu sehingga tidak mempunyai kekuatan yang mengikat sebagaimana ketentuan pada Pasal 1335 KUH Perdata yang menyebutkan bahwa “suatu perjanjian dengan sebab atau isi yang palsu adalah tidak mengikat secara hukum” sehingga pembebanan suatu objek dengan HT didasarkan atas hutang piutang yg fiktif adalah cacat hukum.
Perwujudan Nominee ini ada pada surat perjanjian yang dibuat oleh para pihak, yaitu antara Warga Negara Asing dan Warga Negara Indonesia sebagai pemberi kuasa (Nominee) yang diciptakan melalui satu paket perjanjian itu pada hakekatnya bermaksud untuk memberikan segala kewenangan yang mungkin timbul dalam hubungan hukum antara seseorang dengan tanahnya kepada Warga Negara Asing selaku penerima kuasa untuk bertindak layaknya seorang pemilik yang sebenarnya dari sebidang tanah yang menurut hukum tidak dapat dimilikinya (Hak Milik atau Hak Guna Bangunan). Perjanjian dengan menggunakan pihak Warga Negara Indonesia sebagai Nominee merupakan penyelundupan hukum karena substansinya bertentangan dengan Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA). (Vide Maria S.W. Sumardjono, “Alternatif Kebijakan Pengaturan Hak Atas Tanah Beserta Bangunan Bagi Warga Negara Asing dan Badan Hukum Asing”, 2007, Kompas, Jakarta, h. 18).
Dengan demikian dapat dikatakan perjanjian Nominee adalah dibuat atas dasar itikad tidak baik, yang dikualifikasikan perjanjian simulasi (simulasi absolute) dan merupakan sebagai bentuk penyelundupan hukum dimana secara subtantif ketentuan-ketentuan dalam Pasal 9, Pasal 21 dan Pasal 26 ayat (2) UUPA tersebut tidak dapat disimpangi. (Vide Maria S.W. Sumardjono, “Alternatif Kebijakan Pengaturan Hak Atas Tanah Beserta Bangunan Bagi Warga Negara Asing dan Badan Hukum Asing”, 2007, Kompas, Jakarta, h. 17).
Sebagaimana pendapat Mariam Badrulzaman menyebutkan bahwa merujuk pada ketentuan Pasal 1320 KUHPerdata ayat (1) dapat dikatakan bahwa asas kebebasan berkontrak dibatasi oleh konsensus atau sepakat dari para pihak yang membuatnya. Ketentuan ini memberi petunjuk bahwa perjanjian dipengaruhi oleh asas konsensualisme.
Bahwa dalam Pasal 1320 pasal (4) dan Pasal 1337 KUH Perdata dengan jelas menyebutkan bahwa para pihak tidak bebas untuk mengadakan perjanjian yang menyangkut kausa yang dilarang oleh undang-undang atau bertentangan dengan kesusilaan dan ketertiban umum. Konsekuensi hukum bila perjanjian dibuat bertentangan dengan kausa tersebut adalah dapat menjadi penyebab perjanjian bersangkutan tidak sah. (Vide Mariam Badrulzaman, “Asas Kebebasan Berkontrak dan Kaitannya Dengan Perjanjian Baku (Standar)”, 1994, Alumni, Bandung, hal. 43)
Sebab atau causa diartikan sebagai isi dari perjanjian, mengenai isi dari perjanjian harus halal artinya tidak bertentangan dengan undang-undang, norma kesusilaan, dan ketertiban umum. Tidak bertentangan dengan undang-undang dalam kaitan penguasaan tanah oleh orang asing semestinya ditafsirkan bahwa perjanjian yang dibuat tidak bertentangan dengan UUPA, sedangkan bahasa langsung ataupun tidak langsung dalam UUPA dapat merujuk kepada kebiasaan pada perjanjian Nomonee terkait penguasaan asset yang tidak wajar oleh Orang Asing misalnya sewa menyewa sampai dengan 100 tahun bahkan lebih.
DAFTAR PUSTAKA
Mariam Badrulzaman, “Asas Kebebasan Berkontrak dan Kaitannya Dengan Perjanjian Baku (Standar)”, 1994, Bandung.
Maria sw. Sumardjono, “Kebijakan Pertanahan antara Regulasi dan Implementasi”, Kompas, 2006, Jakarta.
Maria S.W. Sumardjono, “Alternatif Kebijakan Pengaturan Hak Atas Tanah Beserta Bangunan Bagi Warga Negara Asing dan Badan Hukum Asing”, 2007, Kompas, Jakarta.
Undang-Undang No. 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal.
Undang-Undang No. 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas.
Undang-Undang Pokok Agraria.
Kitab Undang-Undang Hukum Perdata