I Made Adi Seraya, S.H., M.H., C.L.A. dan Rekan | Phone: 082144702720

Perkawinan Beda Agama

Apakah Perkawinan Beda Agama Sah?

Ilustrasi

 

Perkawinan, dalam hukum perdata ialah pertalian yang sah antara seorang lelaki dan seorang peremuan untuk waktu yang lama. Undang-undang memandang perkawinan hanya dari hubungan keperdataan, demikian pasal 26 Burgerlijk Wetboek.

Apakah artinya itu? Pasal itu hendak menyatakan, memenuhi syarat-syarat yang ditetapkan dalam Kitab Undang-undang Hukum Perdata, (Burgerlijk Wetboek) dan syarat-syarat dan peraturan agama dikesampingkan. Suatu asas lagi dari B.W., ialah polygami dilarang. Larangan ini termasuk ketertiban umum, artinya bila dilanggar selalu diancam dengan pembatalan perkawinan yang dilangsungkan itu.

Syarat-syarat untuk dapat sahnya perkawinan, ialah :

  1. kedua pihak harus telah mencapai umur yang ditetpkan dalam undang-undang, yaitu untuk seorang lelaki 18 tahun dan untuk seorang perempuan 15 tahun;
  2. harus ada persetujuan bebas antara kedua belah pihak;
  3. untuk seorang perenpuan yang sudah pernah kawin harus lewat 300 hari dahulu sesudah putusnya perkawinan pertama;
  4. tidak ada larangan dalam undang-undang bagi kedua belah pihak;
  5. untuk pihak yang basih dibawah umur, harus ada izin dari orang tua dan walinya.

Tentang hal larangan untuk kawin dapat diterangkan, bahwa seorang tidak diperbolehkan kawin dengan saudaranya, meskipun saudara tiri; seurang tidak diperbolehkan kawin dengan iparnya; seorang paman dilarang kawin dengan keponakannya dan sebagainya.

Pegertian Umum Tentang Perkawinan Menurut UU No. 1 Tahun 1974

Dasar perkawinan (Pasal 1 s.d. Pasal 5)

  • Definisi Perkawinan

Perkawinan ialah ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan menbentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.

Sebagai Negara yang berdasarkan Pancasila, sila yang pertama ialah Ketuhanan Yang Maha Esa, maka perkawinan mempunyai hubungan yang sangat erat sekali dengan agama/kerohanian, tetapi unsure batin/rohani juga mempunyai peranan yang penting. Membentuk keluarga yang nahagia rapat hubunganny dengan keturunan, yang pula merupaka tujuan perkawinan, pemelihraan dan pendidikan menjadi hak dan kewaijiban orang tua.

  • Syarat untuk Sahnya Perkawinan

Pasal 2 ayat (1) UUP menetapkan bahwa perkawinan adalah sah apabila dilakukan menirut hukum masing-masing agama dan kepercayaannya itu.

Dengan perumusan pada pada pasal 2 ayat (1) ini, tidak ada perkawinan diluar hukum hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu, sesuai dengan Undang-Undang Dasar 1945. Sedangkan yang dimaksud hukum masig-masing agamanya dan kepercayaannya itu termasuk ketentuan peraturan perundangan yang berlaku bagi golongan agamanya dan kepercayaannya itu sepanjang tidak bertentangan atau tidak ditentukan lain dalam Undang-undang ini.

Tiap-tiap perkawinan yang dilaksanakan menurut letentuan pasal 2 ayat (1) UUP dicatat menurut peraturan perundangan yang berlaku (Pasal 2 ayat 2).

  • Asas Monogami dalam Perkawinan

Pada asasnya dalam suatu perkawinan seorang pria hanyan boleh mempunyai seorang istri. Seorang wanita hanya bolen mempunyai seorang suami (Pasal 3 ayat 1). Dari ketentuan ini jelaslah bahwa Undang-Undang Perrkawinan ini menganut asas monogami; namun dalam pasal 3 ayat 2 UUP ditegaskan bahwa pengadilan dapat memberi izin kepada seorang suami untuk beristri lebih dari seorang apabila dikehendaki oleh pihak-pihak yang bersangkutan.

Adapun yang dimaksud dengan pengadilan dalam pasal 3 ayat (2), menurut pasal 63 UUP ialah;

  1. Pengadilan agama bagi mereka yang beragma islam;
  2. Pengadilan umum bagi laiinya.

Setiap keputusan oleh pengadilan agama yang dikukuhkan oleh Pengadilan Umum.

Pengadilan yang bersangkutan dalam menberi putusan selain memeriksa apakah syarat untuk beristri lebih dari seorang (tersebut dalam pasal 4 dan 5 UUP) telah dipenuhi, harus mengingat pula apakah ketentuan-ketentuan hukum perkawinan dari calon suami mengizinkan adanya poligami

Menurut ketentuan pasal 4 ayat (1) UUP banhwa dalam hal seorang suami akan beristri lebih dari seorang sebagaimana tersebut dalam pasal 3 ayat (2) Undang-Undang itu, maka ia wajib mengajukan permohonan kepada pengadilan di daerah tempat tinggalnya. Akan tetapi pengadilan yang dimaksud hanya memberikan izin kepada kepada seorang suami yang beristri lebih dari seorang apabila;

  1. istri tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai istri;
  2. istri mendapat cacat badan atau penyakit yang tidak dapat disembuhkan;
  3. istri tidak dapat melahirkan keturunan.

Selanjutnya menurut pasal 5 ayat (1) UUP bahwa untuk dapat mengajukan permohonan kepada pengadilan, sebagaimana dimansud dalam Pasal 4 ayat (1) Undang-Undang ini, harus dipenuhi syarat-syarat sebagai berikut;

  1. adanya persetujuan dari istri/istri-istri;
  2. adanya kepastian bahwa suami mampu menjamin keperluan-keperluan hidup itsri-istri dan anak-anak mereka.
  3. adanya jaminan bahwa suami akan berlaku adil terhadap istri-istri dan anak-anaknya mereka.

Berkenaan dengan syarat “adanya pengadilan dari istri/istri-istri” yang diebutkan dalam pasal 5 ayat (1) UUP dalam ayat(2) pasal tersebut ditegaskan bahwa persetujan yersebut tidak diperlukan lagi bagi seorang suami apabla istri-istri tidak mungkin dimintai persetujuan dan tidak dapat menjadi pihak dalam perjanjian atau apabila tidak ada kabar dari istrinya selama sekurang-kurangnya (dua) tahun, atau karena sebab-sebab lainnya yang perlu mendapat penilaian dari hakim pengadilan.

Syarat-syarat Perkawinan (Pasal 6 s.d. 12)

Untuk dapat melangsungkan perkawinan secara sah, harus dipenuhi syarat-syarat perkawinan yang ditegaskan dalam Pasal 6 UUP yaitu;

  • Perkawinan harus dilaksanakan atas persetujuan kedua calon mempelai.
  • Untuk melangsungkan perkawinan seorang yang belum mendapat umur 21 (dua puluh satu) tahun harus mendapat izin kedua orang tua.
  • Dalam hal seorang dari kedua orang tua telah meninggal dunia atau dalam keadaan tidak mampu menyatakan kehendaknya, maka izin dimaksu ayat (2) pasal ini cukup diperoleh dari orang tua yang masih hidup atau dari orang tua yang mampu menyatakan kehendaknya.
  • Dalam hal kedua orang tua telah meninggal dunia atau dalam keadaan tidak mampu untuk menyatakan kehendaknya, maka izin diperoleh dari wali, orang yang memelihara atau keluarga yang hubungan darah dalam garis keturunan lurus keatas selama mereka masih hidup dan dapat menyatakan kehendaknya.
  • Dalam hal ada perbedaan pendapat antara orang-orang yang disebut dalam ayat (2), (3), dan (4) pasal ini, atau salah seorang atau lebih diantara mereka tidak menyatakan pendapatnya, maka pengadilan dalam daerah hukum tempat tinggal orang yang akan melangsungkan perkawinan atas permintan orang tersebut dapat memberikan izin setelah lebih dahulu mendengar orang-orang tersebut dalam ayat (2), (3), dan (4) pasal ini.
  • Ketentuan tersebut ayat (1) sampai dengan ayat (5) pasal ini berlaku sepanjang hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu dari yang bersabgkutan tidak menentukan lain.

Selanjutnya dalam pasal 7 UUP ditegaskan hal-hal yang bserikut;

  • Perkawinan hanya diizinkan jika pihak pria sudah mengcapai umur 19 (sembilan belas) tahun dan pihak wanita sudah mencapai umur 16 (enam belas) tahun. Ketentuan ini diadakan ialah untuk menjaga kesehatan suami istri dan keturunan, dan karena itu dpandang perlu diterangkan batas umur untuk perkawinan dalam Undang-Undang Perkawinan.
  • Dalam hal penyimpangan terhadap ayat (1) pasal ini dapat meminta dispensasi kepada pengadilan atau pejabat lain yang ditunjuk oleh kedua orang tua pihak pria maupun pihak wanita.
  • Ketentuan-ketentuan mengenai keadaan salah seorang atau kedua orang tersebut dalam pasal 6 ayat (3) dan (4) Undang-Undang ini, berlaku juga dalam hal permintaan dispensasi tersebut ayat (2) pasal ini dengan tidak menurangi yang dimaksud dalam pasal 6 ayat (6).

Laragan Perkawinan

Menurut pasal 8 UUP, perkawinan dilarang antara dua orang yang;

  1. berhubungan darah dalam garis keturunan lurus kebawah ataupun keatas;
  2. berhubungan darah dan garis keurunan menyamping yaitu antara saudara, antra seorang dengan saudara orang tua dan antara seorang dengan saudara neneknya;
  3. berhubungan semenda, yaitu mertua anak tiri, menantu dan ibu/bapak tiri;
  4. berhubungan saudara dengan istri atau sebagai bibi atau kemenakan dari istri, dalam hal seorang suami beristri lebih dari seorang;
  5. berhububan susunan, yaitu orang tua susunan, anak susunan, saudara susunan dan bibi/paman susunan;
  6. berhubungan saudara dengan istri atau sebagai bibi atau kemenakan dari istri dalam hal seorang suami beristri lebih dari seorang;
  7. yang mempunyai hubungan yang oleh agamanya atau peraturan lain yang berlaku, dilarang kawin.

Pencegahan Perkawinan (Pasal 13 s.d. 21)

Menurut pasal 13 UUP, perkawinan dapat dicegah apabila ada pihak yang tidak memenuhi syarat-syarat untuk melangsungkan perkawinan.

Adapun para pihak yang dapat mencegah perkawinan menurut pasal 14 ayat (1) ialah;

  1. para keluarga dalam garis keturunan lurus ke atas dan kebawah;
  2. saudara;
  3. wali nikah;
  4. pengampu dari salah seorang calon mempelai;
  5. pihak-pihak yang berkepetingan.

Selanjutnya dalam pasal 14 ayat (2) diteegaskan bahwa mereka yang tersebut pada ayat (1) pasal 14 berhak juga mencegah berlangsungnya perkawinan apabila salah seorang dari calon mempelai berada di bawah pengampuan, sehingga dengan perkawinan tersebut nyata-nyata mengakibatkan kesengsaraan bagi calon mempelai lannya, yang mempunyai hubungan dengan orang-orang seperti tersebut dalam ayat (1) pasal 14 diatas.

Selain itu menurut pasal 15 UUP, barang siapa karena perkawinan dirinya masih terikat dengan salah satu dari kedua belah dan atas dasar masih adanya perkawinan, dapat mencegah perkawinan yang baru, dengan tidak mengurangi ketentuan Pasal 3 ayat (2) dan Pasal 4 UUP tersebut diatas; hal ini berarti bahwa yang bersangkutan tidak dapat mencegah apabila perkawinan tersebut mendapat izin pengadilan, karena:

  1. istri tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai istri;
  2. istri mendapat cacat badan atau penyakit yang tidak dapat disembuhkan;
  3. istri tidak dapat melahirkan keturunan.

Batalnya Perkawinan (Pasal 22 s.d. 28)

1, syarat-syarat pembatalan perkawinan

Menurut pasal 22 UUP suatu perkawinan dapat dibatalkan apabila para pihak tidak memenuhi syarat-syarat melangsungkan perkawinan.

Pengeretian “dapat” pada pesal ini bisa batal atau tidak bias batal, bilamana manurut ketentuan hukum agamanya masing-masing tidak menentukan lain.

Adapun pihak-pihak yang dapat mengajukan pembatalan perkawinan, menurut pasal 21 UUP ialah;

  1. Para keluarga dalam garis keturunana lurus keatas dari suami atau istri;
  2. Suami atau istri;
  3. Pejabat yang berwenang hanya selama perkawinan belum diputuskan;
  4. Pejabat yang ditunjuk tersebut ayat (2) pasal 16 Undang-Undang ini dan setiap orang yang mempunyai kepentingan hukum secara langsung terhadap perkawian tersebut, tetapi hanya setelah perkawinan itu putus.

Barang siapa karena perkawinan masih terikat dirinya dengan salah satu dari kedua belah pihak dan atas dasar masih adanya perkawinan dapat menyajukan pembatalan perkawinan yang baru, dengan tidak mengurangi ketentuan Pasal 3 ayat (2) dan Pasal 4 Undang-Undang ini (pasal 24). Permohoan pembatalan prkawinan diajukan kepada pengadilan dalam daerah hukum dimana perkawinan dilangsungkan atau di tempat tinggal kedua suami istri, suami istri (pasal 25).

Menurut ketentuan pasal 26 ayat (1) UUP suatu perkawinan yang dilangsungkan dimuka pegawai pencatatan perkawinan yang tidak berwenang, wali nikah yang tidak sah atau yang diangsungkan tanpa dihadiri oleh 2 (dua) orang saksi dapat dimintakan pembatalan oleh para keluarga dalam garis keturunan lurus keatas dari suami atau istri.

Hak untuk membatalkan oleh suami atau istri berdasarkan alasan dalam ayat (1) pasal 26, gugur apabila mereka telah hidup bersama sebagai suami istri dan dapat memperlihatkan akte perkawinan yang dibuat pegawai pencatatan perkawinan yang tidak berwenang dan perkawinan harus diperbaharui supaya sah.

Seorang suami atau istri dapat mengajukan permohonan pembatalan perkawinan apabila perkawinan dilangsungkan di bawah ancaman yang melanggar hukum. Selain itu seorang suami atau istri dapat mengajukan pwermohonan pembatalan perkawinan apabila pada waktu berlangsungnya perkawinan terjadi salah sangka mengenai diri suami atau istri.

Apabila ancaman telah berhenti, atau yang bersalah sangka itu menyadari keadaannya, dan dalam jangka waktu 6 (enam) bulan setelah itu masih tetap sebagai suami istri, dan tidak mempergunakan haknya untuk mengajukan permohonan pembatalan, maka haknya gugur.

2, Saat batalnya perkawinan

Menurut pasal 28 UUP batalnya suatu perkawinan dimulai setelah keputusan pengadilan mempunyai kekuatan hukum yang tetap dan berlaku sejak saat berlangsungnya perkawinan.

Keputusan tidak berlaku surut terhadap;

  1. Anak-anak yang dilahirkan dari perkawinan tersebut;
  2. Suami atau istri yang bertindak dengan itikad baik, kecuali terhadap harta bersama, bila pembatalan perkawinan didasarkan atas adanya perkawinan lain yang lebih dahulu;
  3. Orang-orang ketiga lainnya tidak termasuk dalam a dan b sepanjang mereka memperoleh hak-hak dengan itikad baik sebelum keputusan tentang pembatalan mempunyai kekuatan hukum tetap.

Jadi kalau kita tinjau dari Undang-Undang No.1 Tahun 1974, bahwa perkawinan dapat dikatakan sah apabila dilaksanakan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya.

Dasar hukum dari stetmen diatas adalah Pasal 2 ayat (1) UUP yang menetapkan bahwa perkawinan adalah sah apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agama dan kepercayaannya itu.

Jadi seandainya pihak-pihak yang akan melangsungkan perkawinan masing-masing memeluk agama yang berbeda, maka salah satu pihak harus tunduk kepada agama yang dipeluk pasangannya barulah perkawinan dapat dikatakan sah secara hukum jika ditinjau dari Undang-Undang Perkawinan yaitu Undang-Undang No.1 Tahun 1974 yang menyatakan bahwa perkawinan adalah sah apabila dilaksanakan dengan hukum agamanya dan kepercayaannya masing-masing (Pasal 2 ayat 1).

Bahwa kesimpulannya adalah setelah ditinjau secara seksama ternyata memang belum ada Undang-Undang yang mengatur masalah perkawinan beda agama secara kongkrit baik itu dalam KUHPer tentang perkawinan ataupun Undang-Undang perkawinan yaitu Undang-Undang No.1 Tahun 1974 sedangkan di dalam UUP hanya dinyatakan bahwa, perkawinan dikatakan sah apabila dilaksanakan menurut hukum masing-masing agama dan kepercayaannya itu (Pasal 2 ayat 1).

 

 

DAFTAR PUSTAKA

Vollmar, H.F.A., 1948, Pengantar Studi Hukum Perdata, Rajawali Pers, Jakarta.

Kansil, C.S.T., 1990, Modul Hukum Perdata I, PT Pradnya Paramita, Jakarta.

Subekti, 1985, Pokok Pokok Hukum Perdata, PT Intermasa, Jakarta.

Undang-Undang No.1 Tahun 1974 tentang Perkawinan

 

Komentar

komentar

×

Om Swastiastu

Klik profile di bawah untuk chatting melalui WhatsApp atau kirim email ke adiseraya_lawyer@yahoo.com

× Hubungi melalui WhatsApp.
Send this to a friend